Saturday, August 18, 2012

Malam Perenungan

Ia berjalan di suatu malam.
Dimana gema takbir yang syahdu,
penuh makna sukacita,
bercampur dengan
riuh mercon yang meletup kencang.

Malam itu ia merenung.

Ia telah melewati 30 hari penuh berkah.
Tapi ia merasa tak mendapat apa-apa.
Ia telah berperang sengit dengan hawa nafsunya.
Tapi seringkali ia kalah.

Apakah ia hanya mendapat lapar dan haus saja?
Apakah ia hanya jalani kewajiban saja, tanpa meresapi makna sesungguhnya?


Bulan yang suci dan agung. Dengan limpahan barokah, ampunan, dan nikmat yang tak terhingga,
setelah berlalu, ia belum menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Ia masih berlumur dosa. Masih menghamba pada nafsu. Masih menyia-nyiakan nikmat.
Apakah yang namanya puasa hanya seremonial saja untuknya?
Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikirannya.

Ia malu pada penciptanya.
"Aku mahluk yang tak tahu diuntung!"
ia memekik keras dalam hatinya, mengutuk ketidakberdayaan dirinya.
Astagfirullah hal adzim.

Bagaimana mungkin manusia kotor seperti dirinya masih diberi kesempatan untuk mendapatkan ampunan di Hari Raya, jika bukan karena kebaikan Sang Pencipta?
Kini, ia sedikit mengerti. Kini ia sadar betapa lemah dirinya.
Tak berdaya. Hanya debu.

Ia berjalan pada suatu malam yang mungkin akan merubah dirinya.
Sambil menatap langit, ia mengucap:
"Allah Maha Besar, saya berjanji pada diri saya sendiri, mulai esok saya akan menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bersyukur"











Friday, August 17, 2012

Pusaka Berusia 67 Tahun

Indonesia hari ini, parah kondisinya.
Sekarat. Penuh luka. Hampir mati.
Usianya 67 tahun. Tapi masih belum jadi tempat yang diharapkan oleh para pendirinya.
Tan Malaka, Soekarno, M. Hatta, Sutan Sjahrir, Achmad Soebardjo, Soedirman, dan semua Bapak Bangsa yang dulu berjuang habis-habisan, pasti akan kecewa melihat apa yang terjadi saat ini.

Ironisnya. Sekarang justru kita lebih sering berperang dengan sesama.
Berperang dengan mereka yang hanya memikirkan perut dan kantongnya sendiri.
Berperang dengan mereka yang kerjaannya hanya tertawa di atas derita saudaranya sendiri.
Berperang dengan mereka yang mengaku-ngaku cinta tanah air, cinta Ibu Pertiwi, dalam sumpahnya.
Bukankah ini memalukan? 


Seharusnya, negeri ini bergerak maju, menghadapi semua rintangan bersama, sebagai bangsa.
Bukan malah saling menyalahkan dan saling menjatuhkan. 
Coba kau bayangkan bagaimana hancurnya hati para pahlawan yang menyaksikan kita di sana?
Jika begini terus, kita akan jadi penerus-penerus yang tidak bertanggung jawab.

Ya, negeri ini memang sudah hancur dihantam sana-sini.
Terkapar di tempat yang tidak seharusnya.
Karam di lautan masalah yang seakan tidak ada ujungnya.
Lumpuh karena manusia-manusianya sudah tidak terlalu peduli lagi dengan nasib negerinya sendiri.

Sekarat. Gelap. Hitam pekat.

Namun, dibalik kegelapan yang paling gelap sekalipun, selalu ada percik-percik cahaya.
Yang berpijar dengan malu-malu. Walau tidak seterang kilat, namun cahaya itu selalu muncul dengan intensitas dan kadar yang konsisten.
Cahaya itu yang akan menggerakan nurani tiap orang yang melihatnya. Sebuah cahaya untuk membuat Indonesia lebih baik lagi.

Memang, negeri ini masih jauh dari kata sempurna, namun itu semua karena orang-orangnya juga tidak sempurna. Sekarang adalah waktunya kita satukan ketidaksempurnaan kita lalu bergerak menopang Indonesia, bersama-sama.
Caranya pun tidak harus sama dan seragam. Setiap orang punya perjuangannya masing-masing. Setiap orang punya caranya masing-masing. Lakukan apapun yang kita bisa, untuk membangun Indonesia.
Indonesia terlalu berharga untuk ditinggalkan, terlalu berharga untuk tidak diperjuangkan.

Percayalah Bung! Orang-orang Indonesia adalah orang-orang yang hebat. Orang-orang yang punya daya juang tinggi. Orang-orang yang membanggakan dalam segala keterbatasannya. Orang-orang yang paham arti sebuah perjuangan.

Negeri ini tempat lahir beta.
tanah tempat kita melangkah,
udara yang kita hembus,
kekayaan alam yang melimpah,
alam indah tiada dua,
aneka ragam budaya,
sejarah gemah ripah,
senyuman anak cucu kita,
jiwa raga putra putri bangsa,
perbedaan yang menyatukan.
kemerdekaan yang ditorehkan,
adalah pusaka yang harus kita jaga.









Thursday, August 2, 2012

Dari Mata Seorang Amatiran

Jakarta siang ini. Melankolis.
Mendung. Sendu. Angin bertiup pelan. Seperti berbisik.
Mungkin sedang memuji Tuhan, dengan caranya sendiri.

Tak lama kemudian ia datang, sebentar saja.
Indah... indah sekali..
Lalu tiba-tiba, raut wajah mereka, sumringah.
Senyumnya, bahkan bisa membuat Firaun mengalah.
Lalu ia pergi setelah mengucapkan sesuatu yang tak ada artinya.
Namun tetap saja terdengar indah.

Kini, hanya melodi yang tenang. Mengisi ruangan berjendela besar ini.
Dari jendela inilah aku menangkap suara alam. Suara Jakarta siang ini.
Terkadang memang, hal-hal kecil yang luput ditangkap indra, lebih menarik dari yang jelas-jelas bisa ditafsirkan.

Jika kau tak mengerti apa yang hendak kusampaikan. Cuek saja.
Ini hanya pengamatan kilat tentang suasana lingkungan sekitar, dari mata seorang amatiran.
Jangan hiraukan kawan.
Ini hanya tulisan dari seseorang yang sedang tak melakukan apa-apa.





Friday, June 22, 2012

485

22 Juni 2012. Hari ini usiaku bertambah.
Hari ini diperingati sebagai ulang tahunku.
Diambil berdasarkan hari dimana Fatahillah menaklukan Belanda dan merubah namaku jadi Jayakarta.

Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Djakarta, Jakarta. 
Apapun itu, aku cukup bangga telah berdiri selama 485 tahun.

Selama 485 tahun, banyak hal yang terjadi. Banyak hal yang berubah.
Aku pun semakin berkembang. Dari hanya sekedar pelabuhan, kini aku berubah jadi kota besar yang megah. Metropolitan istilahnya.

Daerah Khusus Ibukota Jakarta, nama panjangku. Megah dan gagah sekali bukan?
Sejak 1961, aku adalah ibukota Republik Indonesia.
Dan semenjak itulah aku berubah pesat sekali.
Orang-orang berduyun-duyun datang karena tertarik untuk bekerja.
Kini, aku telah menjadi tanah harapan. Tempat impian. 
Orang-orang dari seluruh penjuru menggantungkan hidupnya padaku. 
Tentu saja dengan semakin berkembangnya aku, masalahku pun semakin pelik.

Jalan rayaku adalah mimpi buruk para pengendara.
Sungai dan saluran airku adalah surga untuk sampah.
Asap hitam adalah penghias langit-langitku.
Tata kotaku seperti dibuat oleh orang ber-IQ tak lebih dari 35.
Transportasi umumku bahkan bisa membuat orang paling optimis sekalipun jadi putus asa.

Macet, banjir, polusi udara, lingkungan yang tak sehat, ruang publik yang amat minim, kesenjangan sosial yang begitu jelas, membuat wajahku kini tak seindah yang diimpikan dulu.

Di dunia ini, selalu ada 2 sisi yang saling menghabisi. 
Tak terkecuali untukku.
Aku gagah, sekaligus rapuh. 
Aku indah, sekaligus hina.
Aku dipuja, sekaligus dibenci.
Aku harum, sekaligus busuk.
Aku adalah asa, sekaligus pemutus asa.

Suatu kota adalah cerminan perilaku orang-orang yang menghuninya.
Kehancuran dan kemajuan ku, sesungguhnya bergantung pada mereka.

10 juta manusia menginjak tanahku dan menghembus udaraku.
Aku tak pernah meminta apa-apa dari mereka. 
Aku hanya ingin mereka menjaga dan melakukan apapun untuk kebaikanku, sebisa yang mereka mampu.
Tak inginkah mereka memiliki kota yang lebih baik?
Atau mungkin mereka sudah terlanjur nyaman dengan keruwetan ini?
Sampai saat ini, aku tak pernah dapat jawaban yang memuaskan.

485 tahun bukan usia yang pendek.
Dan sesungguhnya aku ingin terus ada hingga 500, 1.000, 10.000 tahun lagi, selama-lamanya.
Tapi apakah mereka menginginkan hal yang sama?
Aku tak tahu, dan tak pernah ingin tahu.








Tuesday, June 19, 2012

Badai

















Ketika batas antara realita dan ilusi kian kabur.
Dirinya terombang-ambing dalam ketidakberdayaan.

Sekilas pergi, sekilas kembali.
Potret bahagia yang lampau.
Senyum yang tak pernah dimiliki.
Rasa yang melekat.
Semua jadi satu, saling bunuh.

Pada akhirnya, dia tak mampu berbuat apa-apa.











Yang Fana adalah Waktu

















Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
Kita abadi.

Sapardi Djoko Damono
Perahu Kertas
Kumpulan Sajak
1982

Benderang dalam Gulita

Sudah 7 tahun aku tak bisa bergerak leluasa.
Selalu saja ada yang membuatku kembali.
Entah karena memang istimewa.
Atau aku sendiri yang terjebak dalam kebodohan tak terkendali.

Puluhan karya tercipta, memuja.
Ratusan paragraf, ribuan prosa, percuma?
Doa tak terhingga terpanjatkan.
Bahagia. Syukurlah kini terwujudkan.

Sepahit-pahitnya kenyataan, harus aku telan.
Seperih-perihnya luka, harus aku lawan.
Karena untuk jadi dewasa itu tak mudah kawan.

Malam ini, aku lepas. Lepas dari ketidakleluasaan yang menggerogoti.
Pikiran, hati, tingkah laku, sikap, nurani.
Malam ini, akhirnya aku bisa benar-benar meluncur dari pusaran hal-hal muluk, hanya angan.
Lepas dari genggaman yang tak pernah terbalaskan.

Babak baru perjalanan dan pencarian sudah di depan mata.

Malam ini, aku terlahir kembali.



Thursday, June 7, 2012

Seperti Jalanan Jakarta saat Lebaran

Kamis, 7 Juni 2012. 22:04.

Otak dan mulut berhasil menyinkronkan ego mereka.
Hasilnya? Kelegaan yang tak terpikirkan sebelumnya.

Malam ini, si pengecut berhasil naik 1 langkah dan jadi dewasa.

Tuesday, June 5, 2012

Bodoh

Ingin kubungkam nurani yang terus melonjakkan keinginan.
Ingin kutebas angan-angan yang sebenarnya sederhana.

Mulut tak leluasa mengeluarkan apa yang dipikirkan otak.
Sementara otak tak kuasa memberitahu mulut untuk segera saja tuntaskan semua.

Dari awal, aku sepenuhnya sadar bahwa diantara 6 milyar manusia penghuni bumi, aku yang paling pengecut.

Baiklah, kita lihat saja siapa yang menang. 

Saturday, June 2, 2012

Sesungguhnya...........

Malam ini semestinya jadi malam yang biasa-biasa saja.
Seperti malam yang sudah-sudah, aku tenggelam dalam kesibukan hingga akhirnya terlelap dalam ruang 3x4 yang berantakan.
Ya, seharusnya itu yang terjadi.
Namun tidak ada yang biasa-biasa saja jika kau hadir menemaniku hampir sepanjang hari. 
Aku bisa pastikan, 6 jam ternyata sebentar saja berlalu.

Kamu tahu jarak dari Blok-S ke rumahmu bukanlah jarak yang dekat?
Tapi denganmu di belakangku, memeluk tubuhku dengan malu-malu, bahkan jika rumahmu di Bogor sekalipun aku tak peduli. 
Aku bahkan lebih senang jika rumahmu lebih jauh lagi, di Kutub Utara misalnya. 
Karena aku ingin lebih lama menikmati perasaan ini.

Bangku teras rumahmu mungkin selalu diisi olehnya di lain hari. 
Aku bisa bayangkan kalian tertawa dan berbincang hingga larut.
Tapi malam ini, aku yang jadi raja disana. Aku tak peduli walaupun hanya semalam.
Karena sayang, ini bukan soal waktu. Ini soal aku menghabiskan malam denganmu.

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya termangu. 
Diatas motor dalam kecepatan 60 km/jam aku merenungkan apa yang baru saja terjadi.
Lalu aku sampai pada 1 kesimpulan yang sesungguhnya cukup menyesakkan. 
Kita sama-sama tahu bahwa masih ada rasa yang kuat, namun kenapa keadaan selalu tak memihak? 
Kita sama-sama tahu ini tak benar, tapi kita sama-sama tak berdaya.

Aku tak ingin merusak apa yang telah kalian bangun, tapi aku tak kuasa menolakmu. 
Kamu terlalu istimewa untuk aku acuhkan.
Aku yakin, kamu pasti merasakan apa yang kurasakan.

Saat ini aku memang tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi ke depannya.
Kamu jalani saja dulu hidupmu. Sementara aku akan mengusahakan apa yang aku bisa. 
Aku tak ingin menjajikan apa-apa, karena masih banyak orang yang harus aku bahagiakan. 

Tapi, salah besar jika kamu pikir aku tak menginginkanmu.
Semenjak pertama kali kau jadi milikku, bahkan sampai saat ini, 
wajahmu adalah wajah yang ingin kulihat saat aku membuka mata, setiap pagi, selama sisa hidupku.


Diilhami oleh kisah kasih sepasang mahluk Tuhan yang sangat saya kenal, lagu-lagu Sheila on 7, dan perjalanan pulang dari kantor ke rumah.