Monday, May 26, 2014

Karena Mimpi yang tanpa Proses, adalah Mimpi Palsu

Hidup memang penuh kekecewaan. Semakin beranjak tua, semakin banyak kekecewaan yang kita alami. Ketika kita kecil, dunia yang kita hidupi adalah dunia yang ideal. Semakin kesini, kata ideal sepertinya sangat sulit untuk diucap. Kita harus kompromi untuk ratusan bahkan ribuan hal. Dari yang remeh, sampai yang esensial. Ketika manusia tidak bisa mencapai apa yang sesungguhnya dia inginkan, maka yang dihasilkan hanya kekecewaan. Kita memang hidup untuk kecewa.

Namun saya mengerti satu hal, ada sebuah ruang pada diri kita, dimana ruang tersebut adalah ruang milik kita sendiri, dan hanya milik kita. Ruang yang membuat kita terus saja berjalan, menuju satu titik. Bahkan ruang itu juga bisa menjadi titik. Ruang itu, mampu menahan kita tetap tegak, meninggalkan hantaman-hantaman kekecewaan yang sudah kita terima. Ruang itu adalah sanctuary, tempat dimana kita bisa bersandar seutuhnya. Saya menyebut ruang itu sebagai MIMPI.

Kekecewaan saya tak terhitung. Mungkin setara dengan jumlah pasir di pantai. Dari yang remeh sampai yang serius. Kekecewaan terbesar dalam hidup saya adalah belum bisa memberikan kebanggan pada orang tua. Saya masih sering merepotkan mereka. Saya belum jadi apa-apa, padahal umur saya semakin beranjak.

Mimpi saya adalah sesuatu yang membuat saya bisa tetap menjalani hidup. Kekecewaan boleh saja menghampiri saya setiap detik. Tapi saya bisa pastikan 1 hal, bahwa mimpi saya lebih besar dari kekecewaan saya. Ketika saya gagal dalam suatu hal, saya akan segera bangkit. Saya akan berteriak sekuat tenaga, menjatuhkan setan-setan pesimisme yang bersemayam dalam diri saya. Biar bagaimanapun, saya gak akan membuat kegagalan merenggut mimpi saya.

Kebahagiaan bagi saya, salah satunya, adalah saat saya bisa menjadikan mimpi saya menjadi nyata.
Selama 25 tahun saya hidup, hanya 1 kali saya berhasil melakukannya. Tapi 1 momen ini, buat saya adalah sebuah tonggak, sebuah capaian besar. Membuat saya berpikir kembali dengan sudut pandang yang berbeda.

Punya mimpi dan berhasil mewujudkannya, memang nikmat luar biasa.
Beruntunglah bagi para pemimpi yang telah berhasil menggapai mimpinya. Sensasi berdebar - debar ketika tahu yang diimpikan akan jadi kenyataan, nikmatnya......... tak terhingga.
Tapi, ternyata saya baru merasakan bahwa jalan untuk menggapai itu semua adalah sesuatu yang sama nikmatnya.

PROSES. Intinya disitu.

Saya bahagia minta ampun saat bisa mewujudkan mimpi masa kecil saya: pergi ke Jepang.
Selama 8 hari saya menjelajah Jepang, saya seperti hidup di dunia yang berbeda dan saya gak mau balik ke realita.

Tapi, prosesnya juga penting untuk saya.
Setiap hari googling nyari informasi, nanya - nanya forum, ngitung bujet dan nyamain dengan kemampuan finansial, ngerasain pertama kalinya bikin Visa, ribetnya urusan itenerary, deg - degannya pas ngambil Visa, mati - matian nabung tiap bulan, sampai ngubrak - ngabrik baju musim dingin di Pasar Senen.
Saya menikmati sekali setiap bagian kecil yang membawa saya sampai ke mimpi saya.

Saya yakin bagi mereka yang telah berhasil mewujudkan mimpinya, pasti ingin mengejar mimpi yang lain. Yang lebih besar. Bukan untuk membuktikan sesuatu pada orang lain, tapi hanya ingin merasakan sensasi yang sama. Sensasi mimpi yang akhirnya terwujud melalui proses yang tidak mudah, tapi tetap menyenangkan.

Maka, untuk itu, saya berusaha mengejar mimpi berikutnya. Mimpi yang buat saya bukan lebih besar, tapi PALING BESAR.

Mimpi terbesar dalam hidup saya adalah pergi ke Old Trafford.

Adalah ulang tahun ke-8 saya pada 1997 yang mengawali semua. Saat itu saya meminta kado pada Mamah, sebuah jersey Manchester United musim itu, serta sepasang sarung tangan kiper. Alasannya, saya melihat di TV ketika Man United bermain dan saya jatuh cinta dengan mereka. Sesederhana itu. Sejak saat itu hingga sekarang, 17 tahun lamanya, 3/4 dari jumlah usia saya, saya habiskan dengan mendukung Manchester United. Cinta memang aneh.

Sudah menjadi sebuah hukum alam bahwa sebuah mimpi yang besar, prosesnya pasti lebih besar. Tahun 2010, ketika saya mulai kerja dan punya penghasilan sendiri, saya mulai mengaktifkan mimpi saya ke Old Trafford. Sejak saat itu sudah ada beberapa tahapan yang sudah saya alami: nempel poster Old Trafford di kamar buat motivasi - cari info dan bujet - nabung - uang tabungan dipake buat yang lebih penting - nabung lagi - ikut kuis hadiah ke Old Trafford - kalah terus - cari tempat kerja yang berhubungan dengan Manchester United - sempet interview - gak diterima - mulai nabung lagi - TO BE CONTINUED

Saya belum berhasil mewujudkannya, tapi saya sangat menikmati tiap jengkal prosesnya.

Maka, saat saya lihat twit tentang lomba nulis untuk bisa ke Inggris, ya udah saya coba saja.
Karena menurut saya, ini bagian dari proses yang harus saya jalani untuk bisa ke Old Trafford.
Jikapun saya tidak menang, saya tidak akan terlalu kecewa. Justru nantinya, tulisan di blog ini akan jadi sesuatu yang nostaljik saat saya sudah benar - benar bisa mewujudkan mimpi saya ke Old Trafford. Pasti saya senyum - senyum sendiri pas bacanya.

Saya yakin sekali kalo yang ikut lomba ini banyak banget.
Tulisannya banyak yang lebih menarik dari saya.
Teknik nulisnya banyak yang lebih bagus dari saya.
Jumlah tulisannya banyak yang lebih banyak dari saya.
Niatnya banyak yang lebih kuat dari saya.
Alasannya banyak yang lebih asik dari saya.

Sementara saya?

Saya cuma ingin sekali lagi berjuang untuk mimpi, dan dengan menulis ini, adalah salah satu proses dalam mewujudkan mimpi terbesar saya.
Dan saya sangat menikmatinya.

Udah. Gitu doang. Sesederhana itu.

Tapi, bukannya itu yang paling penting ya?


Untuk Wanita yang masih dalam Genggaman Tuhan

Teruntuk kamu, wanita yang akan jadi terang dalam hidupku.
Maaf, aku masih belum bisa menemukanmu.
Karena sesungguhnya pun, aku belum tau kamu siapa dan dimana.
Saat ini, kamu terlalu misterius.

Teruntuk kamu, yang akan membuatku jadi lelaki yang lebih baik,
maafkan aku yang tak pernah menyebut namamu dalam doaku.
Bukan karena aku sombong, atau tak membutuhkanmu.
Bukan juga karena kamu tidak berharga bagi hidupku.
Tapi, ini keegoisanku. Aku punya prinsip.
Tuhan tahu itu.

Aku lelaki, dengan berbagai mimpi.
Mimpi besar, mimpi kecil, mimpi yang belum terucap, semua ada di kantong mimpiku.
Yang terbesar, tentu, mimpiku untuk pergi ke Old Trafford.
Alasanku tak pernah mencarimu adalah karena aku ingin mewujudkan mimpi terbesarku dulu.

Aku tak punya muka untuk berhadapan denganmu, sebelum mimpi itu kuwujudkan.
Karena sayang, bagiku, lelaki macam apa yang tak bisa mewujudkan mimpinya namun berani untuk meminangmu.
Untuk menanggung mimpinya saja aku belum mampu. Apalagi menanggung hidupmu.
Mustahil aku bisa mewujudkan bahagia kita, jika aku belum bisa mewujudkan bahagiaku sendiri.
Sungguh, aku tak sanggup, sayang.

Mungkin, mungkin saja, ini teori yang terlalu berani.
Mungkin saja kamu aku temukan, di waktu yang sama saat aku mewujudkan mimpiku tadi.
Mungkin kamu kutemukan saat pipi ini basah oleh air mata setelah melihat Old Trafford dengan mata kepala sendiri.
Disana kita bertemu, kita mengenal, lalu saling tersipu satu sama lain.
Mungkin. Sekali lagi, hanya mungkin.

Aku akan berusaha. Sekuat tenaga.
Karena aku juga tak mau kau menunggu lama.
Aku takut Tuhan berubah pikiran, lalu menjodohkanmu dengan orang lain.
Lalu hidupmu malah berakhir dengan penyesalan, karena menunggu aku yang tak kunjung datang.

Jadi sayang, saat ini kubiarkan kau yang masih dalam genggaman takdir Tuhan.
Lalu aku berjanji, akan menjemputmu.
Tunggu aku, sayang.
Setelah aku menyelesaikan apa yang harus ku selesaikan,
akan kujadikan kamu wanita paling berbahagia di alam semesta.

Salam kemuliaan,
aku yang masih harus berusaha mengejar mimpi,
Maulana Fadilah.