Saturday, November 30, 2013

Mamah Saya Kelas Dunia

Nama saya Maulana Fadilah.
Saya hanya orang yang biasa-biasa saja.
Dalam strata sosial masyarakat, saya menempati urutan bawah.

Medioker.

Ya, banyak sekali hal dalam diri saya yang kelasnya medioker.

Tampang?
Medioker.

Sifat?
Medioker.

Nyali?
Medioker.

Prestasi?
Gak pernah menang apa-apa, bahkan di lomba 17-an. (Medioker!)

Pekerjaan?
Medioker (Kemampuan dan gajinya juga medioker)

Duit?
Medioker.

Selera berpakaian?
Medioker.

Kendaraan?
Cuma punya motor. (Medioker!)

Tempat tinggal?
Medioker. (Maap warga Ciledug, tapi Ciledug emang medioker)

Handphone?
Gak punya Samsung Galaxy S4, apalagi iPhone (Medioker!)

Pacar?
Medio...ehmm... boro-boro. Belom punya pacar malah.

Hidup?
Ya ini mah udah jelas, medioker!

Tuh liat. Saya itu emang kelasnya medioker.
Hampir gak ada sesuatu yang bisa saya banggakan dalam hidup saya.
Kecuali 1 hal.
Saya punya 1 hal saja yang sama sekali bukan berkelas medioker.

Itu adalah Mamah saya.

Mamah saya kelasnya kelas dunia.

Sabarnya?
Kelas dunia.

Baiknya?
Kelas dunia.

Pengertiannya?
Kelas dunia.

Ikhlasnya?
Kelas dunia.

Keinginanya untuk gak bikin anak-anaknya repot dan khawatir?
Kelas dunia.

Cerewetnya?
Kelas dunia. (Hmm... setelah dipikir lagi, untuk yang 1 ini kelasnya udah kelas dunia-akherat)

Cuma 1 hal aja dari Mamah yang gak kelas dunia.
Kemampuan masaknya. Hehehe.
(Tapi kalo dipikir-pikir lagi, kalo Mamah jago masak hampir bisa dipastikan saya akan memegang rekor sebagai orang tergendut di dunia.
Gak jago masak aja saya udah gendut gini)

Ya begitulah.
Hampir seluruh hal dalam hidup saya kelasnya medioker.
Tapi Allah masih baik banget lho sama saya.
Di tengah kemediokeran hidup saya, Beliau menitipkan seseorang yang terbaik.
Seseorang yang bisa saya banggakan. Bukan karena hartanya, bukan karena jabatannya, bukan karena popularitasnya, tapi karena cinta dan kesungguhannya merawat dan menjaga saya sampai sekarang.
Jika saya boleh memilih orangtua, saya tidak akan memilih siapa-siapa selain orangtua saya.
Mamah dan Bapak saya.

Hari ini Mamah saya yang berkelas dunia itu ulang tahun.
Tapi saya hanya bisa memberinya ucapan selamat, kue ulang tahun, dan tulisan ini.
(Tulisan yang lagi-lagi, medioker)

Selamat ulang tahun ya mah.
Semoga Mamah selalu sehat, panjang umur (biar bisa liat aku jadi orang hebat), diluruskan terus jalannya, dimudahkan segala kesulitannya, dan yang paling penting: bahagia dunia-akherat.
Terimakasih untuk selalu jadi terang dalam hidup saya.

Nama saya Maulana Fadilah.
Saya orang yang biasa-biasa saja.
Tapi saya punya Mamah yang luar biasa.





Saturday, November 2, 2013

2 November yang Tak Pernah Sama

Pernahkah kamu sengaja mengingat dengan detail tentang suatu momen, atau kejadian yang sudah terjadi sebelumnya?
Saya tidak pernah. Karena saya memang tidak punya ingatan yang baik.
Jika sedang bernostalgia dengan kenangan yang lalu, saya hanya mampu mengingat beberapa elemennya saja, tidak pernah sepenuhnya.

Hari ini, 1 tahun yang lalu, apa yang kamu lakukan? Apa yang terjadi di hari itu?
Mungkin kamu tidak akan pernah mengingatnya.

Bagi saya, 2 November semestinya menjadi hari yang biasa-biasa saja.
Tanggal 2 November bukan tanggal yang istimewa. Sama seperti tanggal 3 Januari, 8 Oktober, dan lain-lain.
Tidak ada Hari Raya yang jatuh pada tanggal 2 November. Tidak pula libur nasional. 
Tanggal 2 November selalu berlalu begitu saja, tanpa ada ingatan dan kenangan khusus tentangnya. 

Tapi, hal ini berubah sejak 1 tahun lalu.
Bagi saya, tanggal 2 November mendadak menjadi sebuah hari yang paling saya ingat. Sebuah hari yang spesial.
Lebih dari ratusan hari lain yang berserakan dengan bebas dalam ruang memori di otak saya.

Karena pada tanggal inilah, 1 tahun yang lalu, saya kehilangan seorang Bapak.

Saya yang tidak punya ingatan yang baik ini, mendadak mampu mengingat satu per satu, ruang dan waktu, detail demi detail, tentang kepergian Bapak.
Ingatan ini berkerak dalam otak, dan perlahan mulai menjadi sesuatu yang sakral untuk saya.

Begitu menakjubkannya sistem kerja otak manusia, hingga 1 kejadian saja mampu mengubah pandangan seseorang tentang sebuah hari.
Setelah 24 tahun saya hidup, ribuan hari telah saya jalani, hari yang biasanya tak pernah jadi hari yang saya ingat, kini berubah menjadi segalanya.

365 hari yang lalu, untuk terakhir kalinya saya kecup wajah Bapak, sembari bersumpah di telinganya bahwa saya bertekad akan jadi orang yang akan membuatnya bangga. Saya akan hidup dengan berani dan tidak akan mempermalukan Bapak.

Begitu banyak yang saya akan saya lalui, begitu banyak momen yang akan saya kenang.
Namun, diantara ribuan hal yang saya bisa ingat dalam otak saya, memori tentang Bapak akan selalu muncul menjadi yang utama, dan itu akan selalu saya jaga.
Karena ketika seseorang pergi untuk selamanya, ia hanya akan hidup dalam ingatan orang-orang yang mencintainya.

Kini, 2 November takkan pernah lagi jadi hari yang sama.