Friday, November 30, 2012

Persembahan bagi Orang Terpenting dalam Hidup


Lihatlah sosok itu.
Ramah dan menenangkan.
Walau bumi terbelah menjadi 4 bagian.
Dia akan tetap berdiri menjaga apa yang paling dicintainya.

Tataplah matanya.
Penuh cinta. Penuh kasih.
Cinta yang lembut namun tidak melenakan.
Kasih yang tenteram namun tidak menjerumuskan.
Bukti nyata, bahwa surga pun bisa ditemukan di dunia.

Dengarkan ia bicara.
Kau akan mengerti isi semesta raya.
Kehangatan kata yang membuatku lebih dewasa.
Kebijaksanaan yang meluluhkan ego.
Pedoman bagiku untuk melangkah, menjadi manusia seutuhnya.

Rasakan belaiannya.
Menjagaku dari resah hidup.
Memberi kedamaian bagi jiwa yang kalut.
Keberadaannya mencerahkan hari.
Memenuhi semangatku dengan keinginan untuk membuatnya bangga.

Telusuri hatinya.
Disitu aku temukan murninya rasa.
Belajar tentang indahnya berbagi.
Mengerti tentang makna kekuatan dan kesabaran.
Kemuliaan hati dari seorang hawa.

Hari ini, 56 tahun yang lalu, ruh-nya dihembuskan.
Saat ia tercipta, Tuhan pun tersenyum.
Karena ciptaannya akan menjadi seorang yang membawa banyak arti.
Tuhan tak pernah salah.

CiptaanNya kini menjadi yang paling penting di hidupku.
Sebuah cahaya yang paling terang.
Yang menjadi pelita untuk menuntun jalanku.
Sebuah anugerah terindah yang dititipkan Semesta padaku.
Yang kebahagiaannya menjadi tanggung jawabku.

Aku berdoa, agar Tuhan memberinya umur panjang dan kesehatan.
Serta kehidupan yang bahagia, mulia dunia akherat.
Selamat ulang tahun, Mamah.


Monday, November 26, 2012

Bapak

Bapak.

Banyak yang saya ingat tentang sosok Bapak.
Satu yang paling saya ingat adalah kesederhanaannya.
Bapak tak suka menghamburkan uang dengan sia-sia. 
Karena Bapak tahu betapa sulit mencari uang untuk menghidupi keluarga.
Bapak jarang membeli barang mewah, membawa kami plesiran ke luar negeri, atau gonta-ganti HP, bukannya tak mampu, tapi semua untuk menanamkan kebiasaan hemat dalam diri anak-anaknya.
Bapak mengajari hidup lurus dan selalu mengingatkan keutamaan beribadah. 
Bapak seringkali menekankan bahwa agama adalah kunci kebahagiaan dunia dan akherat. 
Suatu ajaran yang berguna bagi kami untuk bekal menjalani sisa hidup.

Bapak bukan sosok yang suka meminta banyak.
Untuk menyenangkan Bapak, tak perlu dengan barang mewah, baju mahal, atau gadget paling mutakhir.
Bapak hanya perlu ditemani mengobrol, duduk di kursi untuk membicarakan banyak hal.
Kalau ngobrol sama Bapak, bisa semalam suntuk, ditemani rokok dan segelas kopi. 
Bahasannya pun macam-macam.

Bapak juga suka nonton bola.
Hampir setiap hari saya di SMS Bapak, menanyakan: “Dul, hari ini ada bola apa? Jam berapa?”
Dan sesampainya di rumah, Bapak lagi anteng di depan TV, nonton bola.
Seringkali Bapak melambaikan tangannya, sambil berkata, “Duduk sini, nonton sama Bapak”
Namun karena lelah seharian bekerja, saya seringkali menolak dan langsung masuk kamar.
Jika waktu bisa diulang, takkan pernah sekalipun saya tolak ajakan Bapak untuk menemaninya ngobrol dan nonton bola.
Sesal saya  tak bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk Bapak.

Perjuangan Bapak melawan penyakit diabetesnya adalah sebuah hal yang bisa menjadi inspirasi bagi yang ditinggalkan.
Diabetes yang diderita sejak 2004 tidak menyurutkan semangat hidup. Bagi Bapak penyakit sudah menjadi sahabatnya.
Namun, ada satu hal yang ditakuti Bapak. Itu adalah tindakan amputasi akibat luka kaki seperti keputusan dokter tahun 2008.                      
Dalam doanya, Bapak memohon,"Ya Allah, kembalikan hambaMu dengan  tubuh yang utuh  seperti saat  dilahirkan di dunia ini". Maka kami sekeluarga mantap untuk merawat luka Bapak, tanpa amputasi.

Saya masih ingat betapa sulitnya Bapak melewati hari-harinya dengan luka tersebut. Luka yang membuat Bapak sulit berjalan dan terbatas aktivitasnya. Meski begitu, Bapak tetap melakukan aktivitasnya dengan baik. Bapak tetap mengurus keperluan rumah, meluangkan waktu untuk bermain dengan cucu-cucunya, atau merawat tanaman yang ada di halaman. Selain ngobrol dan nonton bola, Bapak juga senang bercocok tanam. “Kalo rumah adem kan enak”, kata Bapak suatu hari.

Selama dirawat di rumah sakit, Bapak tabah dan optimis.
Menghadapi segala cobaan yang diterimanya, tanpa banyak mengeluh.
Di kamar rumah sakit, diatas tempat tidur, saya melihat kekuatan sejati dari seorang Bapak.
Walau didera rasa sakit yang hebat, Bapak tak sekalipun mau menyerah.
Ditemani dzikir dan doa yang tak pernah absen dari bibir, Bapak mengikhlaskan semuanya.
Allah memberikan kesempatan untuk saya menyaksikan perjuangan Bapak, membuat saya bertekad untuk jadi orang hebat kelak.

Suatu malam, terjadi percakapan singkat dengan permohonan Bapak yang terasa berat untuk dipenuhi, yaitu meminta melepas ikhlas kepergiannya.                                
Makin terasa sesak didada, saat tangan saya dan Mamah saling bertumpuk dalam genggaman, diiringi dengan ucapan Bapak yang lirih, "Kalau Bapak pergi, kamu udah ikhlas kan? Kita sepakat ya. Kalian udah ikhlas”.

Saatnya pun tiba. Di sepertiga malam, 2 November 2012 dini hari pukul 03:15, Bapak pergi. Pada akhirnya Allah memenuhi doa Bapak, meninggal di hari Jumat dan kembali kepadaNya dengan tubuh yang utuh. Kini, Bapak sudah menuntaskan waktunya dan kembali pada Yang Memiliki Hidup.

 Dengan hati yang lapang dan jiwa yang ikhlas,
kami antarkan Bapak memenuhi takdir Sang Khaliq.
Berbekal doa dan harapan akan kemuliaan Bapak di sisi Allah SWT.
Tak ada ragu dan kesedihan yang berlarut.
Karena Bapak telah menjalankan hidupnya sebagai  manusia, suami, orang tua, kakak, dan teman, dengan baik dan terhormat.