Wednesday, February 29, 2012

Dididik untuk jadi Robot

Saya ingat sekali masa-masa SMA saya. Bebas dan penuh tawa.
SMA kata orang-orang adalah masa yang paling indah. Penuh liku untuk menemukan jati diri. Sebuah masa yang penting, karena menjadi pijakan psikologis sebelum terjun di masyarakat. Saya sangat suka masa SMA saya.
Well, kecuali pendidikannya.

Sadar gak sih kalo selama ini pendidikan formal kita tuh gak bener?
Contohnya, kita dituntut untuk menguasai pelajaran-pelajaran yang kita tidak sukai. Guru aja gak bisa nguasain semua ilmu. Coba saya tanya, ada gak guru SMA kalian yang ngajarin matematika, biologi, fisika, penjas, sekaligus? Gak mungkin ada kan? Jadi, kenapa kita dituntut untuk nguasain semua ilmu? Buat apa nguasain banyak pelajaran di SMA? Materi pelajaran sebanyak itu hanya berguna di pendidikan dasar. Setelah melewati pendidikan dasar juga akan terlihat kok minat orang tersebut di bidang apa.

Saya paling gak suka sama matematika. Karena pada dasarnya saya gak suka itung-itungan. Jadi, gak heran kalo nilai matematika saya di rapot SMA gak pernah bagus. Lah wong saya gak suka, kok tetep di jejelin! Ya gak bakal masuk dong. Terus karena matematika saya jelek, saya di cap sebagai murid yang bodoh. Hahaha kalo diinget-inget sekarang sih saya pengen ketawa aja. Buktinya ilmu itu gak ada yang kepake di bidang yang saya geluti sekarang.

Terus saya inget banget kalo dulu temen-temen saya berbondong-bondong pengen masuk IPA. Katanya jurusan IPA tuh jurusan buat murid-murid pinter doang, prestise-nya tinggi, gampang masuk universitas negeri dan alasan-alasan lainnya. Saya sih emang gak pernah minat sama IPA. Bagi saya, IPA membosankan. Dan, saya emang gak pernah suka sama ilmu pasti. Maka masuklah saya di jurusan IPS.

Semua juga tau lah kalo jurusan IPS agak di anak tirikan, bahkan oleh sekolah dan guru-gurunya. "Anak IPA pinter-pinter. Anak IPS bego-bego! Anak IPA soleh semua! Anak IPS bejat-bejat!" Itu tuh sterotype yang bikin kita semua gak maju. Saya sih gak peduli mau dibilang bego apa gimana, lah orang saya gak suka kenapa saya harus maksa buat masuk IPA? Eh ternyata anak-anak IPA di sekolah saya kuliahnya banyak yang gak nyambung sama jurusannya. Sia-sia banget gak sih?

Belom lagi sejak SD kita sudah di seragamkan. Mau buktinya? Waktu SD kita pasti di suruh bikin gambar gunung. Coba bandingkan, gambar kita pasti mirip kan satu sama lain? Ada gunung, jalan raya, matahari di tengah gunung, sawah hijau di sekitar jalan, dan burung yang berterbangan. Kenapa bisa gitu? Karena guru-guru mengajarkan itu! Kalo ada yang salah atau tidak seperti yang di ajarkan, guru kita akan marah. "Langit itu biru!" "Gunung itu bentuknya seperti ini!" "Matahari itu bulat!" "Sawah berwarna hijau!" dll. Jika ada anak yang menggambar matahari bentuknya kotak, atau langit berwarna hijau, pasti di-cap salah dan diberi nilai jelek. Aneh ya?

Sadar gak kalo dari dulu kita dididik untuk mengikuti pola ini: sekolah -> kuliah -> kerja jadi karyawan -> nikah -> mati.
Gak pernah tuh saya diajarin untuk jadi wiraswasta. Atau diajarin gimana caranya mengatur perusahaan sendiri.
"Kamu sekolah yang bener, biar pinter, biar dapet universitas yang bagus jadi kamu gampang nyari kerja. Kalo kamu udah kerja di perusahaan besar itu berarti kamu udah sukses." Pasti gak asing kan sama kata-kata diatas? Kayaknya hampir semua anak di Indonesia yang 1 generasi sama saya ngalamin yang serupa.

Saya tidak bilang itu buruk, namun omongan tadi adalah hasil "cuci otak" jaman orde baru. Karena definisi sukses kala itu adalah dapet kerja di perusahaan. Sebuah hal yang wajar, mengingat saat orde baru Indonesia membutuhkan banyak pekerja untuk membangun perekonomian. Sehingga orang-orang pada masa itu dididik untuk jadi karyawan hebat. Dan untuk diterima menjadi karyawan pada saat itu sangat sulit. Akhirnya timbul mindset bahwa orang yang mampu bekerja di perusahaan besar atau instansi pemerintah yang bergengsi, di cap sebagai manusia yang memiliki derajat tinggi.

Mindset kuno: Bekerja selamanya jadi karyawan adalah sebuah hal yang menjajikan masa depan cerah. Pensiun terjamin. Keluarga sejahtera. Hidup bahagia.
Mindset ini di wariskan turun temurun hingga generasi orang tua kita. Sehingga banyak orang yang terpaksa menjalani hidupnya dengan mindset seperti itu. Banyak orang yang sebenernya gak suka dengan pekerjaannya, namun terpaksa bekerja karena mindset itu.
Banyak orang yang jadi robot.

Bagi saya tidak seperti itu. Bagi saya kebahagiaan adalah menjalani apa yang kita suka dengan tekun dan sungguh-sungguh, sehingga kita dapat value dari apa yang kita kerjakan.
Love first, money will follow. Saya percaya jika saya mengerjakan apa yang saya sukai dan menjadi passion saya dengan sungguh-sungguh, sukses akan mengikuti dengan sendirinya. Saya lebih baik bekerja dengan gaji yang kecil tapi bahagia, daripada bekerja dengan gaji yang besar namun tidak bahagia. (Dan betapa beruntungnya saya, di tempat kerja sekarang saya dapat keduanya: kerjaannya menyenangkan dan gajinya pun lumayan).

Banyak kok orang-orang yang menekuni apa yang disukainya dan sukses, beberapa diantara mereka bahkan gak lulus kuliah. Bill Gates, Mark Zuckerberg, Sean Parker, Bob Sadino, Hendy Setiono, Andy. F. Noya adalah beberapa diantaranya.

Generasi kita harus lebih maju daripada generasi sebelumnya. Jadi semestinya mindset generasi kita seperti ini: sekolah -> kuliah -> jadi karyawan -> cari pengalaman dan koneksi -> membuka usaha sendiri -> nikah -> mati

Saya lebih memilih menjadi wiraswasta yang memiliki usaha sederhana, daripada jadi karyawan perbankan bergaji puluhan juta. Karena menurut saya orang-orang besar yang revolusioner, pasti berani berani ambil resiko dan meninggalkan comfort zone mereka. Nah kalo saya selamanya jadi karyawan, berarti saya udah terlena dengan comfort zone saya.

Mungkin saya terlalu idealis. Tapi bukankah saat seperti ini adalah saat yang paling tepat untuk bermimpi setinggi-tingginya?
Kalopun salah, saya tidak akan menyesal. Karena ini adalah waktunya berbuat kesalahan sebanyak-banyaknya. Masih muda, belum punya tanggungan apa-apa, kenapa harus takut?

Jadi......... yuk rame-rame tekuni apa yang menjadi passion kita. Kalo suka bola, latihan yang rajin biar jadi Bambang Pamungkas baru. Kalo pengen jadi sutradara, usaha terus sampe melebihi Joko Anwar. Kalo mau jadi ilmuwan ya sekolah yang tinggi biar bisa ngalahin B.J Habibie.

Jangan takut gak bisa hidup, jangan takut masa depan suram, jangan mau dipaksa melakukan apa yang sebenernya kita gak suka, jangan membatasi diri, JANGAN MAU JADI ROBOT!

Karena ini hidup kita dan ini adalah petualangan kita!