Friday, March 16, 2012

Ketika Senja

Kita terlalu sombong.
Kita terlalu sering menghakimi.
Kita terlalu sering menghujat.
Kita terlalu sering menjelekkan.
Dan kita terlalu lama hidup dalam kenyamanan akan segala hal diatas.

Sesungguhnya manusia adalah mahluk yang lemah.
Mahluk yang bodoh.
Mahluk yang penuh kesalahan.
Mahluk yang saling menyakiti.
Mahluk yang tidak bersyukur.
Dan kita tetap kukuh mempertahankan semua hal diatas, yang semestinya bisa diubah.

Apa yang harus ku lakukan? Apa yang harus ku ubah?

Untuk apa aku hidup? Untuk saling menyakiti? Untuk memenuhi semua ambisi? Untuk berguna bagi orang lain? Untuk memamerkan kehebatan masing-masing? Untuk tertawa dalam sunyi? Untuk bersedih dalam bingar?

Apa makna kehadiranku bagi orang lain? Agar mereka tertawa? Agar mereka bisa membandingkan dengan dirinya? Agar mereka bisa menghina? Agar mereka punya tempat berbagi? Agar mereka bisa menjadikanku alat? Agar mereka tahu bahwa ada manusia dengan sifat seburuk ini? Atau justru tidak ada makna apa-apa?

Untuk apa manusia diciptakan?

Manusia adalah mahluk yang unik. 5 milyar jumlahnya, tak ada satupun yang benar-benar sama. Setiap organ yang ada, setiap sel-sel yang bekerja, setiap zat yang terbentuk, setiap roh yang ditiupkan, dan setiap wujud yang ditampakkan, memiliki perhitungan yang sangat matang dan terperinci. Sungguh, profesor paling hebat di jagad raya juga tak akan bisa menandingiNya.

Kok bisa-bisanya merasa lebih hebat dari orang lain. Kok bisa-bisanya merasa superior. Kok bisa-bisanya menghakimi sesama. Kok bisa-bisanya pamer ini, pamer itu. Kok bisa-bisanya merasa yang paling tahu.

Kita sungguh berbeda. Sungguh-sungguh berbeda.
Namun, aku mulai paham kenapa manusia diciptakan berbeda. Untuk saling mengisi. Untuk saling memahami. Untuk saling mencintai. Untuk saling mengerti.

Pergolakkan sesama manusia pasti akan hadir selamanya. Namun aku percaya, jika kita bisa memahami maksud Semesta menciptakan kita, semua akan lebih jernih.

Sebelum menghakimi dan menjatuhkan, lebih baik sadari bahwa kita tak lebih dari debu.

Semestinya, setiap dari kita menilai sesuatu dengan biasa-biasa saja. A dan B. Baik dan buruk. Hitam dan putih. Benar dan salah. Semuanya tak ada yang hakiki.

Ada dan tak ada pun tak hakiki.
Yang ada cuma jiwa manusia yang tersesat dalam kebodohan yang dibuatnya sendiri.

Terima saja, kita adalah individu yang menyedihkan.
Karena terlalu sering berbicara tanpa hati. Melihat tanpa mendengar. Dan bertindak tanpa akal.

Maafkan aku, Semesta.

Wednesday, March 14, 2012

15 Menit Lagi

Waktu nulis ini, saya lagi sendirian di kantor. Penunjuk jam di pojok kanan atas komputer saya menunjukkan angka 4:46 pagi. Di kantor selarut ini, ngapain? Saya dan kedua orang copywriter lainnya sedang mengerjakan presentasi yang akan di presentasikan jam 11 pagi ini. Mereka sudah lelap, saya masih seger. Efek sering begadang. Hehehe...

Wah sudah jam 4:48, itu berarti waktu saya tersisa 12 menit lagi untuk bercerita.
Ini hari kedua berturut-turut saya lembur, dan anehnya saya tidak merasakan penderitaan apapun. Saya tidak merasa ini berat, saya tidak merasa ini menjengkelkan. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Confusius dalam salah satu quote-nya, "Choose a job you love and you will never have to work a day in your life".

Ah, diantara suara keyboard dan exhaust fan yang saling menindih. Dikala fajar mulai mengintip untuk memamerkan sinarnya, saya temukan sekeping kebahagiaan. Dan ini adalah perasaan yang menyenangkan. Terima kasih semesta.

Jam menunjukkan angka 4:57, ini saatnya saya membangunkan mereka. Ini saatnya saya pulang ke rumah untuk melebur dalam nyamannya kasur. Sampai jumpa.