Friday, June 22, 2012

485

22 Juni 2012. Hari ini usiaku bertambah.
Hari ini diperingati sebagai ulang tahunku.
Diambil berdasarkan hari dimana Fatahillah menaklukan Belanda dan merubah namaku jadi Jayakarta.

Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Djakarta, Jakarta. 
Apapun itu, aku cukup bangga telah berdiri selama 485 tahun.

Selama 485 tahun, banyak hal yang terjadi. Banyak hal yang berubah.
Aku pun semakin berkembang. Dari hanya sekedar pelabuhan, kini aku berubah jadi kota besar yang megah. Metropolitan istilahnya.

Daerah Khusus Ibukota Jakarta, nama panjangku. Megah dan gagah sekali bukan?
Sejak 1961, aku adalah ibukota Republik Indonesia.
Dan semenjak itulah aku berubah pesat sekali.
Orang-orang berduyun-duyun datang karena tertarik untuk bekerja.
Kini, aku telah menjadi tanah harapan. Tempat impian. 
Orang-orang dari seluruh penjuru menggantungkan hidupnya padaku. 
Tentu saja dengan semakin berkembangnya aku, masalahku pun semakin pelik.

Jalan rayaku adalah mimpi buruk para pengendara.
Sungai dan saluran airku adalah surga untuk sampah.
Asap hitam adalah penghias langit-langitku.
Tata kotaku seperti dibuat oleh orang ber-IQ tak lebih dari 35.
Transportasi umumku bahkan bisa membuat orang paling optimis sekalipun jadi putus asa.

Macet, banjir, polusi udara, lingkungan yang tak sehat, ruang publik yang amat minim, kesenjangan sosial yang begitu jelas, membuat wajahku kini tak seindah yang diimpikan dulu.

Di dunia ini, selalu ada 2 sisi yang saling menghabisi. 
Tak terkecuali untukku.
Aku gagah, sekaligus rapuh. 
Aku indah, sekaligus hina.
Aku dipuja, sekaligus dibenci.
Aku harum, sekaligus busuk.
Aku adalah asa, sekaligus pemutus asa.

Suatu kota adalah cerminan perilaku orang-orang yang menghuninya.
Kehancuran dan kemajuan ku, sesungguhnya bergantung pada mereka.

10 juta manusia menginjak tanahku dan menghembus udaraku.
Aku tak pernah meminta apa-apa dari mereka. 
Aku hanya ingin mereka menjaga dan melakukan apapun untuk kebaikanku, sebisa yang mereka mampu.
Tak inginkah mereka memiliki kota yang lebih baik?
Atau mungkin mereka sudah terlanjur nyaman dengan keruwetan ini?
Sampai saat ini, aku tak pernah dapat jawaban yang memuaskan.

485 tahun bukan usia yang pendek.
Dan sesungguhnya aku ingin terus ada hingga 500, 1.000, 10.000 tahun lagi, selama-lamanya.
Tapi apakah mereka menginginkan hal yang sama?
Aku tak tahu, dan tak pernah ingin tahu.








No comments:

Post a Comment