Wednesday, September 28, 2016

Cerita tentang Perih di Dada dan Angin di Luar Jendela

Saat terkurung dalam ruang ini,
aku berbisik pada angin di luar jendela, 

"Sampaikan perih di dada ini padanya. Aku ingin kamu jadi mataku, untuk melihat senyumnya. Senyum paling hangat di dunia".

Maka berjalanlah ia. Melewati lampu-lampu kota yang berbinar. Menyapa daun-daun yang gemulai mengikuti geraknya. Berhembus ringan, saat bertemu pengemis renta di sisi jalan.

Di sebuah bukit dimana warung remang-remang mengikat para sopir truk yang lelah, ia berhenti sesaat. 

Hujan. 

"Aku tak ingin perih ini basah". Ia bergumam.

Ia pun berputar-butar anggun seperti balerina. Menyelinap ke sisi jendela kayu yang lapuk. Melewati ranjang yang berderit pelan. Hinggap di meja, mendinginkan kopi panas yang kini jadi tak layak diseruput karena sudah kehilangan pesona.

Sesaat setelah hujan reda, ia pun kembali berhembus. Ditemani bau rumput basah. Ia tersenyum. 
"Aku suka bau rumput sehabis hujan", gumamnya.

Ia berhembus kencang menerjang padang ilalang. Menghempaskan belalang yang berusaha sekuat tenaga bertahan. Lalu perlahan mengurangi hembusannya saat melewati sebuah desa yang gelap gulita.

Akhirnya ia tiba, di rumah yang ditinggali oleh dia yang senyumnya paling hangat. 

Ia mengitari rumah itu, lalu dengan lembut masuk melewati pintu kamar, yang tak tertutup rapat.

Di atas tempat tidur. Ada dia yang sudah terlelap. 

"Aku datang, untuk mengantar perih di dada. Dari orang yang ada jauh di sana". Ia berbisik pelan.

Sunyi. Tidak ada reaksi. Namun dalam lelapnya, dia tersenyum. 

Senyum yang paling hangat.

Hanya bisa dilihat oleh sang angin di luar jendela.

Dan entah kenapa, perih di dada ini.... semakin menggila.

Sayangku, aku rindu.



No comments:

Post a Comment