Ia berjalan di suatu malam.
Dimana gema takbir yang syahdu,
penuh makna sukacita,
bercampur dengan
riuh mercon yang meletup kencang.
Malam itu ia merenung.
Ia telah melewati 30 hari penuh berkah.
Tapi ia merasa tak mendapat apa-apa.
Ia telah berperang sengit dengan hawa nafsunya.
Tapi seringkali ia kalah.
Apakah ia hanya mendapat lapar dan haus saja?
Apakah ia hanya jalani kewajiban saja, tanpa meresapi makna sesungguhnya?
Bulan yang suci dan agung. Dengan limpahan barokah, ampunan, dan nikmat yang tak terhingga,
setelah berlalu, ia belum menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Ia masih berlumur dosa. Masih menghamba pada nafsu. Masih menyia-nyiakan nikmat.
Apakah yang namanya puasa hanya seremonial saja untuknya?
Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikirannya.
Ia malu pada penciptanya.
"Aku mahluk yang tak tahu diuntung!"
ia memekik keras dalam hatinya, mengutuk ketidakberdayaan dirinya.
Astagfirullah hal adzim.
Bagaimana mungkin manusia kotor seperti dirinya masih diberi kesempatan untuk mendapatkan ampunan di Hari Raya, jika bukan karena kebaikan Sang Pencipta?
Kini, ia sedikit mengerti. Kini ia sadar betapa lemah dirinya.
Tak berdaya. Hanya debu.
Ia berjalan pada suatu malam yang mungkin akan merubah dirinya.
Sambil menatap langit, ia mengucap:
"Allah Maha Besar, saya berjanji pada diri saya sendiri, mulai esok saya akan menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bersyukur"
No comments:
Post a Comment