Kita terlalu sering menghakimi.
Kita terlalu sering menghujat.
Kita terlalu sering menjelekkan.
Dan kita terlalu lama hidup dalam kenyamanan akan segala hal diatas.
Sesungguhnya manusia adalah mahluk yang lemah.
Mahluk yang bodoh.
Mahluk yang penuh kesalahan.
Mahluk yang saling menyakiti.
Mahluk yang tidak bersyukur.
Dan kita tetap kukuh mempertahankan semua hal diatas, yang semestinya bisa diubah.
Apa yang harus ku lakukan? Apa yang harus ku ubah?
Untuk apa aku hidup? Untuk saling menyakiti? Untuk memenuhi semua ambisi? Untuk berguna bagi orang lain? Untuk memamerkan kehebatan masing-masing? Untuk tertawa dalam sunyi? Untuk bersedih dalam bingar?
Apa makna kehadiranku bagi orang lain? Agar mereka tertawa? Agar mereka bisa membandingkan dengan dirinya? Agar mereka bisa menghina? Agar mereka punya tempat berbagi? Agar mereka bisa menjadikanku alat? Agar mereka tahu bahwa ada manusia dengan sifat seburuk ini? Atau justru tidak ada makna apa-apa?
Untuk apa manusia diciptakan?
Manusia adalah mahluk yang unik. 5 milyar jumlahnya, tak ada satupun yang benar-benar sama. Setiap organ yang ada, setiap sel-sel yang bekerja, setiap zat yang terbentuk, setiap roh yang ditiupkan, dan setiap wujud yang ditampakkan, memiliki perhitungan yang sangat matang dan terperinci. Sungguh, profesor paling hebat di jagad raya juga tak akan bisa menandingiNya.
Kok bisa-bisanya merasa lebih hebat dari orang lain. Kok bisa-bisanya merasa superior. Kok bisa-bisanya menghakimi sesama. Kok bisa-bisanya pamer ini, pamer itu. Kok bisa-bisanya merasa yang paling tahu.
Kita sungguh berbeda. Sungguh-sungguh berbeda.
Namun, aku mulai paham kenapa manusia diciptakan berbeda. Untuk saling mengisi. Untuk saling memahami. Untuk saling mencintai. Untuk saling mengerti.
Pergolakkan sesama manusia pasti akan hadir selamanya. Namun aku percaya, jika kita bisa memahami maksud Semesta menciptakan kita, semua akan lebih jernih.
Sebelum menghakimi dan menjatuhkan, lebih baik sadari bahwa kita tak lebih dari debu.
Semestinya, setiap dari kita menilai sesuatu dengan biasa-biasa saja. A dan B. Baik dan buruk. Hitam dan putih. Benar dan salah. Semuanya tak ada yang hakiki.
Ada dan tak ada pun tak hakiki.
Yang ada cuma jiwa manusia yang tersesat dalam kebodohan yang dibuatnya sendiri.
Terima saja, kita adalah individu yang menyedihkan.
Karena terlalu sering berbicara tanpa hati. Melihat tanpa mendengar. Dan bertindak tanpa akal.
Maafkan aku, Semesta.